KESIAPAN INDONESIA MENGHADAPI
ERA GLOBALISASI
Globalisasi berarti suatu proses yang
mencakup keseluruhan dalam berbagai bidang kehidupan sehingga tidak nampak lagi
adanya batas-batas yang mengikat secara nyata. Dalam keadaan global, tentu
apa saja dapat masuk sehingga sulit untuk disaring atau dikontrol. Terkait
dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, makna globalisasi memiliki dimensi
luas dan kompleks yaitu bagaimana suatu negara yang memiliki batas-batas
teritorial dan kedaulatan tidak akan berdaya untuk menepis penerobosan
informasi, komunikasi dan transportasi yang dilakukan oleh masyarakat di luar
perbatasan.
Globalisasi dalam
arti literal adalah sebuah perubahan sosial, berupa bertambahnya
keterkaitan di antara masyarakat dan elemen-elemennya yang terjadi akibat transkulturasi dan
perkembangan teknologi di bidang transportasi dan komunikasi yang memfasilitasi
pertukaran budaya dan ekonomi internasional.
Globalisasi
sesungguhnya sudah lama terjadi, yakni sejak abad 19, yaitu sejak adanya kontak
dagang kerajaan-kerajaan di kepulauan Nusantara dengan para pedagang Eropa yang
berujung pada penjajahan. Kemudian tingkat dan skala globalisasi juga kian
pesat seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi serta
kemenangan kekuatan kapitalis atas kekuatan sosialis/komunis.
Globalisasi
sebenarnya netral, tergantung bagaimana kita mengartikannya. Ada yang menilai
globalisasi sebagai sesuatu yang positif karena memberikan peluang dan
kesempatan yang sama kepada siapapun untuk bermain secara global. Namun ada
pula yang menilai negative, karena ketimpangan penguasaan sumber daya (terutama
modal) serta kemajuan teknologi informasi dan komunikasi berpotensi untuk
menguntungkan negara kuat dan merugikan negara lemah.
Indonesia
merupakan salah satu negara dengan penduduk terbesar di dunia. Menurut data
biro sensus Amerika, perkiraan jumlah penduduk Indonesia di tahun 2010 mencapai
242,968,342 yang menempatkan kita di urutan ke-empat negara berpenduduk
terbanyak di dunia. Angka ini sedikit di atas Proyeksi Penduduk Indonesia oleh
BPS, BAPPENAS, dan UNFPA yang memperkirakan penduduk Indonesia akan sebanyak
233,477,400 di tahun yang sama. Tiga negara di ranking teratas (Cina, India,
dan Amerika Serikat) adalah mereka yang selain bersaing dalam jumlah penduduk
juga bersaing dalam berbagai bidang strategis di dunia. Cina telah berhasil
melampaui pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. India kini semakin ngebut dengan
berbagai pengembangan teknologinya. Amerika sendiri, selain berusaha agar tidak
sampai keteteran di arena balap dunia, tampaknya semakin gencar melakukan
manuver politik untuk mendukung bidang-bidang lain. Amerika, Cina, India, dan
negara-negara maju lainnya bersaing sekuat tenaga untuk menjadi pemimpin era
globalisasi.
Ada beberapa
kebijakan yang harus diterapkan Indonesia dalam menghadapi globalisasi, antara
lain pembangunan SDM, pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan, membuka
jalur perdagangan dunia melalui kebijakan peningkatan eksor dan investasi,
pengembangan akses permodalan terutama bagi pengusaha UKM, serta menjaga
keseimbangan dengan alam.
Namun, tidak
bisa dipungkiri bahwa pembangunan SDM adalah faktor yang terpenting dalam
menentukan kesiapan bangsa Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Berdasarkan
hasil survey pertumbuhan daya saing Asia oleh World Economic Forum (WEF),
peringkat Indonesia terus menurun. Dari tahun 2001 di peringkat 64 dari 75
negara, tahun 2002 peringkat 67 dari 80 negara, tahun 2003 peringkat 72 dari
102 negara, tahun 2004 peringkat 69 dari 104 negara, dan tahun 2005 peringkat
74 dari 117 negara.
Sementara
itu, dari hasil pemeringkatan Standard and Poor yang mengindikasikan kemudahan
berbisnis, Indonesia hanya menempati ranking 131 dari 175 negara. Bahkan,
ranking tersebut melorot jadi 135 pada tahun 2006. Lalu bagaimana solusinya?
Hal pertama
yang mendasar adalah melakukan perubahan paradigma pola berpikir atas berbagai
nilai, persepsi, dan praktek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta
dalam pembangunan. Paradigma lama yang menjadikan negara sebagai poros
pembangunan harus diubah dengan meletakkan masyarakat sebagai poros
pembangunan. Maka, pola pembangunan juga harus memberdayakan masyarakat.
Memberdayakan
masyarakat disini artinya menumbuhkan kepercayaan bagi tiap orang bahwa dirinya
mampu lebih produktif dan berprestasi. Melalui pemberdayaan masyarakat sadar
bahwa pembangunan sedang dilaksanakan, dan mereka punya kesempatan untuk
melibatkan diri dalam pembangunan tersebut.
Lalu,
bagaimana menumbuhkan kepercayaan masyarakat bahwa mereka memiliki kesempatan
dan kemampuan untuk dapat terlibat dalam pembangunan? Disinilah peran pemimpin
yang mengembangkan pola transformasional. Seorang pemimpin yang memahami arti
pentingnya penguatan nilai-nilai kebangsaan untuk bangkit dan meningkatkan daya
saing bangsa, yang responsive terhadap berbagai permasalahan yang ada di
masyarakat, serta selalu siap menganalisis dan punya intuisi yang tinggi dalam
melihat berbagai masalah bangsa secara komprehensif. Pemimpin yang juga paham
dan menghayati konteks nilai, etika dan integritas kebangsaan, mengakui adanya
interdependensi antara pemimpin dan rakyatnya, antara negara dan masyarakat,
serta memiliki strategi integrasi yang kuat.
Di sini
masalahnya. Saat kita membuka pintu bagi globalisasi, sudah siapkah masyarakat
Indonesia? Sudah bisakah kita menciptakan produk global seperti Samsung yang
beberapa tahun lalu masih menjadi produk gurem? Sudahkah para peneliti kita
diminati oleh universitas dan lembaga penelitian besar di negara-negara maju
layaknya para peneliti dari Cina, India, dan Korea Selatan? Atau yang lebih
lokal, sudah sejauh manakah tingkat pendidikan masyarakat kita? Sebenarnya
masih banyak lagi pertanyaan yang bisa membuat kita merasa seperti tenggelam di
laut lepas.
Saat ini
semakin banyak pusat-pusat budaya, bahasa, dan kajian regional di
universitas-universitas luar negeri. Berkat usaha Ibu Pangesti Wiedarti, penulis
Buku Kiat Memenangkan Beasiswa, kini telah dibuka program studi bahasa
Indonesia di beberapa universitas di luar negeri. Hal ini merupakan satu
kemajuan yang menunjukkan eksistensi kita di ajang globalisasi. Ini juga bisa
menjadi sebuah media promosi pariwisata dan investasi bagi Indonesia. Namun
kemajuan di satu sisi harus juga diimbangi di sini lain. Promosi gencar di luar
negeri harus diimbangi dengan peningkatan kualitas dalam negeri. Kalau tidak,
bisa terjadi ketimpangan di pasar global.
Globalisasi
yang kita alami ini nampaknya masih terbatas pada level atas. Masih banyak
lapisan masyarakat yang belum siap terjun ke dalamnya. Namun apa daya, sebagai
sebuah bangsa di jaman modern ini mau tidak mau kita akan terjangkit sindrom
The World is Flat, seperti dibahas oleh Tom Friedman. Dunia tidak akan menunggu
kita. Jangan harap Amerika atau Jepang mau menunggu sampai Indonesia siap untuk
menerima segala macam serangan globalisasi mereka. Coca-Cola, McDonald’s,
Starbucks, dan produk global lain akan semakin merajai pasar dari tahun ke
tahun seiring meningkatnya konsumerisme masyarakat Indonesia. Nilai realisasi
Penanaman Modal Asing yang membaik di awal tahun 2007 kemarin belum cukup untuk
kita jadikan sebagai indikasi kesiapan dan kompetensi masyarakat Indonesia
secara merata. Kebijakan pemerintah yang top-down harus disertai dukungan nyata
sampai ke level paling bawah. Pemerintah tidak boleh hanya mengeluarkan
berbagai macam kebijakan dan meninggalkannya begitu saja. Tanpa sosialisasi
yang baik itu semua tak akan efektif.
Jumlah
penduduk yang besar ini harus mampu kita jadikan suatu nilai lebih. Nilai lebih
yang bisa memberikan keuntungan bagi Indonesia, bukan bangsa lain. Malu rasanya
jika kita bertengger di urutan ke-4 dunia dalam jumlah penduduk namun ternyata
hanya berada di urutan ke-108 pada ranking Kualitas Sumber Daya Manusia 2006
yang dikeluarkan oleh UNDP. Sudah barang tentu ini kewajiban kita semua untuk
bisa bersaing di ajang internasional. Masing-masing dari kita harus
mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan yang bisa terjadi. Kita harus
benar-benar menjadi pemain global yang diperhitungkan dan muncul sebagai salah
satu kekuatan baru Asia Pasifik, bukan sekedar penggembira. Siapa yang tak
ingin melihat nantinya akan ada franchise Nasi Pecel tersebar di luar negeri?
Kita juga berharap nama-nama profesor Indonesia tercetak di buku-buku teks
terbitan McGraw Hill, Houghton Mifflin, dan Princeton Review bukan? Untuk itu
kita membutuhkan suatu pembenahan mendasar yang sangat mendasar sehingga
menyentuh tiap individu yang menghirup oksigen di Nusantara ini. Kitalah yang
harus melakukannya. Jika pembenahan dari atas sulit dilakukan, maka kita mulai
dari bawah. Jangan menunggu lagi, karena kita tak mau hanya jadi pasar!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar