Rabu, 10 April 2013

tugas sofskill 2.


KESIAPAN INDONESIA MENGHADAPI ERA GLOBALISASI
 Globalisasi berarti suatu proses yang mencakup keseluruhan dalam berbagai bidang kehidupan sehingga tidak nampak lagi adanya batas-batas yang mengikat secara nyata. Dalam keadaan global, tentu apa saja dapat masuk sehingga sulit untuk disaring atau dikontrol. Terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, makna globalisasi memiliki dimensi luas dan kompleks yaitu bagaimana suatu negara yang memiliki batas-batas teritorial dan kedaulatan tidak akan berdaya untuk menepis penerobosan informasi, komunikasi dan transportasi yang dilakukan oleh masyarakat di luar perbatasan.
Globalisasi dalam arti literal adalah sebuah perubahan sosial, berupa bertambahnya keterkaitan di antara masyarakat dan elemen-elemennya yang terjadi akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi di bidang transportasi dan komunikasi yang memfasilitasi pertukaran budaya dan ekonomi internasional.
Globalisasi sesungguhnya sudah lama terjadi, yakni sejak abad 19, yaitu sejak adanya kontak dagang kerajaan-kerajaan di kepulauan Nusantara dengan para pedagang Eropa yang berujung pada penjajahan. Kemudian tingkat dan skala globalisasi juga kian pesat seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi serta kemenangan kekuatan kapitalis atas kekuatan sosialis/komunis.
Globalisasi sebenarnya netral, tergantung bagaimana kita mengartikannya. Ada yang menilai globalisasi sebagai sesuatu yang positif karena memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada siapapun untuk bermain secara global. Namun ada pula yang menilai negative, karena ketimpangan penguasaan sumber daya (terutama modal) serta kemajuan teknologi informasi dan komunikasi berpotensi untuk menguntungkan negara kuat dan merugikan negara lemah.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk terbesar di dunia. Menurut data biro sensus Amerika, perkiraan jumlah penduduk Indonesia di tahun 2010 mencapai 242,968,342 yang menempatkan kita di urutan ke-empat negara berpenduduk terbanyak di dunia. Angka ini sedikit di atas Proyeksi Penduduk Indonesia oleh BPS, BAPPENAS, dan UNFPA yang memperkirakan penduduk Indonesia akan sebanyak 233,477,400 di tahun yang sama. Tiga negara di ranking teratas (Cina, India, dan Amerika Serikat) adalah mereka yang selain bersaing dalam jumlah penduduk juga bersaing dalam berbagai bidang strategis di dunia. Cina telah berhasil melampaui pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. India kini semakin ngebut dengan berbagai pengembangan teknologinya. Amerika sendiri, selain berusaha agar tidak sampai keteteran di arena balap dunia, tampaknya semakin gencar melakukan manuver politik untuk mendukung bidang-bidang lain. Amerika, Cina, India, dan negara-negara maju lainnya bersaing sekuat tenaga untuk menjadi pemimpin era globalisasi.
Ada beberapa kebijakan yang harus diterapkan Indonesia dalam menghadapi globalisasi, antara lain pembangunan SDM, pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan, membuka jalur perdagangan dunia melalui kebijakan peningkatan eksor dan investasi, pengembangan akses permodalan terutama bagi pengusaha UKM, serta menjaga keseimbangan dengan alam.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa pembangunan SDM adalah faktor yang terpenting dalam menentukan kesiapan bangsa Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Berdasarkan hasil survey pertumbuhan daya saing Asia oleh World Economic Forum (WEF), peringkat Indonesia terus menurun. Dari tahun 2001 di peringkat 64 dari 75 negara, tahun 2002 peringkat 67 dari 80 negara, tahun 2003 peringkat 72 dari 102 negara, tahun 2004 peringkat 69 dari 104 negara, dan tahun 2005 peringkat 74 dari 117 negara.
Sementara itu, dari hasil pemeringkatan Standard and Poor yang mengindikasikan kemudahan berbisnis, Indonesia hanya menempati ranking 131 dari 175 negara. Bahkan, ranking tersebut melorot jadi 135 pada tahun 2006. Lalu bagaimana solusinya?
Hal pertama yang mendasar adalah melakukan perubahan paradigma pola berpikir atas berbagai nilai, persepsi, dan praktek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta dalam pembangunan. Paradigma lama yang menjadikan negara sebagai poros pembangunan harus diubah dengan meletakkan masyarakat sebagai poros pembangunan. Maka, pola pembangunan juga harus memberdayakan masyarakat.
Memberdayakan masyarakat disini artinya menumbuhkan kepercayaan bagi tiap orang bahwa dirinya mampu lebih produktif dan berprestasi. Melalui pemberdayaan masyarakat sadar bahwa pembangunan sedang dilaksanakan, dan mereka punya kesempatan untuk melibatkan diri dalam pembangunan tersebut.
Lalu, bagaimana menumbuhkan kepercayaan masyarakat bahwa mereka memiliki kesempatan dan kemampuan untuk dapat terlibat dalam pembangunan? Disinilah peran pemimpin yang mengembangkan pola transformasional. Seorang pemimpin yang memahami arti pentingnya penguatan nilai-nilai kebangsaan untuk bangkit dan meningkatkan daya saing bangsa, yang responsive terhadap berbagai permasalahan yang ada di masyarakat, serta selalu siap menganalisis dan punya intuisi yang tinggi dalam melihat berbagai masalah bangsa secara komprehensif. Pemimpin yang juga paham dan menghayati konteks nilai, etika dan integritas kebangsaan, mengakui adanya interdependensi antara pemimpin dan rakyatnya, antara negara dan masyarakat, serta memiliki strategi integrasi yang kuat.
Di sini masalahnya. Saat kita membuka pintu bagi globalisasi, sudah siapkah masyarakat Indonesia? Sudah bisakah kita menciptakan produk global seperti Samsung yang beberapa tahun lalu masih menjadi produk gurem? Sudahkah para peneliti kita diminati oleh universitas dan lembaga penelitian besar di negara-negara maju layaknya para peneliti dari Cina, India, dan Korea Selatan? Atau yang lebih lokal, sudah sejauh manakah tingkat pendidikan masyarakat kita? Sebenarnya masih banyak lagi pertanyaan yang bisa membuat kita merasa seperti tenggelam di laut lepas.
Saat ini semakin banyak pusat-pusat budaya, bahasa, dan kajian regional di universitas-universitas luar negeri. Berkat usaha Ibu Pangesti Wiedarti, penulis Buku Kiat Memenangkan Beasiswa, kini telah dibuka program studi bahasa Indonesia di beberapa universitas di luar negeri. Hal ini merupakan satu kemajuan yang menunjukkan eksistensi kita di ajang globalisasi. Ini juga bisa menjadi sebuah media promosi pariwisata dan investasi bagi Indonesia. Namun kemajuan di satu sisi harus juga diimbangi di sini lain. Promosi gencar di luar negeri harus diimbangi dengan peningkatan kualitas dalam negeri. Kalau tidak, bisa terjadi ketimpangan di pasar global.
Globalisasi yang kita alami ini nampaknya masih terbatas pada level atas. Masih banyak lapisan masyarakat yang belum siap terjun ke dalamnya. Namun apa daya, sebagai sebuah bangsa di jaman modern ini mau tidak mau kita akan terjangkit sindrom The World is Flat, seperti dibahas oleh Tom Friedman. Dunia tidak akan menunggu kita. Jangan harap Amerika atau Jepang mau menunggu sampai Indonesia siap untuk menerima segala macam serangan globalisasi mereka. Coca-Cola, McDonald’s, Starbucks, dan produk global lain akan semakin merajai pasar dari tahun ke tahun seiring meningkatnya konsumerisme masyarakat Indonesia. Nilai realisasi Penanaman Modal Asing yang membaik di awal tahun 2007 kemarin belum cukup untuk kita jadikan sebagai indikasi kesiapan dan kompetensi masyarakat Indonesia secara merata. Kebijakan pemerintah yang top-down harus disertai dukungan nyata sampai ke level paling bawah. Pemerintah tidak boleh hanya mengeluarkan berbagai macam kebijakan dan meninggalkannya begitu saja. Tanpa sosialisasi yang baik itu semua tak akan efektif.
Jumlah penduduk yang besar ini harus mampu kita jadikan suatu nilai lebih. Nilai lebih yang bisa memberikan keuntungan bagi Indonesia, bukan bangsa lain. Malu rasanya jika kita bertengger di urutan ke-4 dunia dalam jumlah penduduk namun ternyata hanya berada di urutan ke-108 pada ranking Kualitas Sumber Daya Manusia 2006 yang dikeluarkan oleh UNDP. Sudah barang tentu ini kewajiban kita semua untuk bisa bersaing di ajang internasional. Masing-masing dari kita harus mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan yang bisa terjadi. Kita harus benar-benar menjadi pemain global yang diperhitungkan dan muncul sebagai salah satu kekuatan baru Asia Pasifik, bukan sekedar penggembira. Siapa yang tak ingin melihat nantinya akan ada franchise Nasi Pecel tersebar di luar negeri? Kita juga berharap nama-nama profesor Indonesia tercetak di buku-buku teks terbitan McGraw Hill, Houghton Mifflin, dan Princeton Review bukan? Untuk itu kita membutuhkan suatu pembenahan mendasar yang sangat mendasar sehingga menyentuh tiap individu yang menghirup oksigen di Nusantara ini. Kitalah yang harus melakukannya. Jika pembenahan dari atas sulit dilakukan, maka kita mulai dari bawah. Jangan menunggu lagi, karena kita tak mau hanya jadi pasar!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar