PENGKREDITAN
Pada
dasarnya, perkataan kredit kampir dikenal oleh seluruh masyarakat. Kata kredit
sudah bukan lagi menjadi kata yang asing dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
pengertian kehidupan masyarakat, kata kredit sering dipersamakan dengan
pengertian pinjaman atau utang.
Secara
etimologi, kata kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu : “Credere” yang
berarti “kepercayaan”. Seorang yang memperoleh kredit berarti memperoleh suatu
kepercayaan (Muhamad Djumhana2000 :365).
Pengertian
kredit apabila ditinjau dari sudut ekonomi adalah suatu penundaan pembayaran
dimana pengembalian atas penerimaan uang atau barang (prestasi) tidak dilakukan
bersamaan pada saat menerimanya, akan tetapi pengembaliannya dilakukan pada
saat tertentu yang akan datang (Hasanuddin Rahman, 1998 : 34).
Haymind P.
Kent (Thomas Suyatno, 1998 : 11) mengemukakan sebagai berikut :
“Kredit
adalah hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan pembayaran
pada waktu diminta atau pada waktu yang akan datang karena penyerahan
barang-barang sekarang.
Pengertian
kredit dikemukakan pula oleh J.A. Levy, yakni:
“Menyerahkan
secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima
kredit. Penerima kredit berhak untuk mempergunakan pinjaman itu untuk
keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu di belakang
hari (Mariam Darus Badrulzaman, 1993 : 21).
Selain batas
pengertian kredit yang dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas, pengertian
kredit secara yuridis pun ditemukan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 7 Tahun
1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
merumuskan pengertian kata kredit sebagai berikut :
“Kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan
pihak lain. Yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Sejalan
dengan pengertian di atas Munir Fuady (1996 : 2) mengemukakan bahwa kata
“kredit” berarti kepercayaan, karena itu memberi mestilah disertai unsur saling
percaya, yakni rasa saling percaya antara kreditur sebagai pemberi kredit dan
debitur sebagai penerima kredit. Akan tetapi dalam dunia bisnis,
kepercayaan itu hanya semu belaka karena kenyatannya masih banyak pemberian
kredit yang didasarkan kepercayaan itu menjadi macet.
Menurut
Sutan Remy Sjahdeini (1993 : 158) bahwa yang dimaksud perjanjian kredit adalah
perjanjian pinjam uang antara bank dan nasabah debitor yang mewajibkan pihak
nasabah (debitor) untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
sejumlah bunga dan pemberian hasil keuntungan. Sutan Remy Sjahdeini, (1993 :
45) mengemukakan pula bahwa dalam praktek sehari-hari persetujuan pemberian
kredit dinyatakan dalam bentuk perjanjian tertulis baik dibawah tangan
maupun dihadapan notaris dan sebagai pengamanan bahwa pihak peminjam akan
memenuhi kewajibannya, maka debitor akan menyerahkan jaminan/agunan.
Pengertian
kredit yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998, yaitu:
“Kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.
Sejalan
dengan itu Tjiptonugroho (Sentosa Sembiring, 2000 : 51) mengemukakan bahwa :
“Intisari
dari kredit sebenarnya adalah kepercayaan, suatu unsur yang harus dipegang
sebagai benang merah melintasi falsafah perkreditan dalam arti sebenarnya,
bagaimanapun bentuk, macam dan ragamnya dan dari manapun asalnya kepada
siapapun diberikan.
Sedangkan
O.P Simorangkir (Budi Untung, 2000 : 1) mengemukakan bahwa :
“Kredit
adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas prestasi (kontra
prestasi) yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Kehidupan ekonomi
modern adalah prestasi uang, yang dengan demikian transaksi kredit menyangkut
uang sebagai alat kredit. Kredit berfungsi koperatis antara si pemberi kredit
dan sipenerima kredit atau antara kreditor dan debitor. Mereka menarik
keuntungan dan saling menanggung risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas
didasarkan atas komponen kepercayaan, risiko, dan pertukaran ekonomi di masa
mendatang”.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.
Menanggapi
ketentuan dalam pasal tersebut, Abdulkadir Muhammad (2000 : 58) mengemukakan
unsur-unsur esensial dalam konsep kredit sebagai berikut :
a. Kepercayaan.
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap kredit bank, yaitu kredit yang
diberikan itu dapat dikembalikan sesuai dengan persyaratan yang disepakati
bersama;
b. Agunan.
Setiap kredit yang akan diberikan selalu disertai barang yang berfungsi sebagai
jaminan bahwa kredit yang diterima oleh calon debitor pasti akan dilunasi dan
ini akan meningkatkan kepercayaan pihak bank;
c. Jangka
waktu. Pengembalian kredit didasarkan pada jangka waktu tertentu yang layak,
jangka waktu berakhir jika kredit dilunasi;
d. Risiko.
Jangka waktu pengembalian kredit mengandung risiko terhalang atau terlambat,
atau macetnya pelunasan kredit;
e. Bunga
bank. Setiap pemberian kredit selalu disertai imbalan berupa bunga yang wajib
dibayar oleh calon debitor dan ini merupakan keuntungan yang diterima oleh
bank;
f. Kesepakatan.
Semua persyaratan pemberian kredit dan prosedur pengembalian kredit serta
akibat hukumnya adalah hasil kesepakatan dan dituangkan dalam akta perjanjian
yang disebut kontrak kredit.
Berkaitan
dengan hal di atas berarti bahwa kredit hanya dapat diberikan kepada mereka
yang dipercaya mampu mengembalikan kredit di kemudian hari. Jika dijabarkan
lebih lanjut lagi bahwa pemenuhan kewajiban mengembalikan pinjaman itu sama
artinya dengan kemampuan memenuhi prestasi suatu perikatan.
E. Kredit
Bermasalah
Bank dalam
setiap perjanjian kredit selaku kreditor percaya bahwa setiap debitor memiliki
kemampuan memenuhi kewajibannya untuk melunasi segala hutang yang telah
disepakati antara bank dengan debitor. Akan tetapi, dalam
kenyataannya tidak seperti yang diharapkan sebelumnya. Berbagai macam faktor di
luar perhitungan atau jangkauan perkiraan dapat terjadi, sekalipun telah
dilakukan analisis mendalam dan penuh kehati-hatian melalui verifikasi dan
analisis kredit yang baik.
Timbulnya
risiko yang tidak diharapkan ini menandakan bahwa kredit bermasalah tersebut
adalah bagian dari kehidupan bisnis perbankan. Kredit bermasalah seringkali
dipersamakan dengan kredit macet, padahal keduanya memiliki pengertian yang
berbeda. Kredit bermasalah adalah kredit dengan kolektibilitas macet ditambah
dengan kredit-kredit yang memiliki kolektibilitas diragukan yang mempunyai
potensi menjadi macet. Sedangkan kredit macet adalah kredit yang angsuran pokok
dan bunganya tidak dapat dilunasi selama lebih dari 2 (dua) masa angsuran.
Penyelesaian kredit macet kemudian diserahkan kepada Pengadilan/KP2LN
(Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara) atau diajukan tuntutan kepada
Perusahaan Asuransi Kredit.
Dengan
demikian, kredit macet merupakan kredit bermasalah, tetapi kredit bermasalah
belum tentu atau tidak seluruhnya merupakan kredit macet. Dalam pada itu,
penyebab timbulnya kredit bermasalah sendiri menurut Soedrajad Djiwandono
(Mudrajad Kuncoro, 2002:470) dapat disebabkan faktor internal dan eksternal.
Faktor Internal antara lain disebabkan oleh kebijakan perkreditan yang kurang
menunjang, kelemahan sistem dan prosedur penilaian kredit, pemberian dan
pengawasan kredit yang menyimpang dari prosedur, itikad yang kurang baik dari
pemilik, pengurus, dan pegawai bank. Sedangkan faktor eksternal antara lain
disebabkan oleh lingkungan usaha debitor, musibah atau kegagalan usaha,
persaingan antar bank yang tidak sehat.
Sehubungan
dengan upaya penyelesaian kredit yang bermasalah sebagaimana dimaksudkan
terdahulu, Retnowulan Sutantio (1996:245) mengemukakan bahwa baik kredit
bermasalah maupun kredit macet tersebut diukur dari kolektibilitas kredit yang
bersangkutan artinya kapan suatu kredit dikatakan bermasalah atau macet dapat
dilihat dari kolektibilitasnya.
Kedudukan
bank sebagai lembaga keuangan yang bergerak di bidang kredit berpengaruh besar
terhadap lancar tidaknya arus lalu lintas pembayaran yang diperlukan dalam
peningkatan pembangunan bidang ekonomi Indonesia. Sebagai lembaga keuangan yang
melepaskan uangnya kepada masyarakat tentu bank berharap untuk dapat memperoleh
keuntungan berupa bunga yang dibebankan pada saat perjanjian kredit terjadi.
Harapan itu
baru akan terwujud dan menjadi kenyataan, apabila bank bertindak hati-hati,
terutama dalam menentukan siapa yang patut diberi kredit dan berapa besar
kredit yang diberikan, setelah mengetahui jaminannya.
Bank
senantiasa menjaga bahwa perjanjian yang dibuat dengan debitor itu tidak cacat
menurut hukum serta memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Apabila bank
sejak dini sudah bertindak hati-hati, dapatlah diharapkan bahwa kredit yang
diberikan oleh pihak kreditor kepada debitor terjamin pengembaliannya dalam
jangka waktu yang ditentukan. Bila hal ini terjadi maka tujuan memperoleh profit
akan tercapai sehingga segala sesuatu terlaksana sesuai yang diharapkan.
Bank dalam
menyalurkan kreditnya selalu menerapkan prinsip 5 C, menurut Retnowulan
Sutantio (1998, 319 : 320) yang dimaksud dengan 5 C itu adalah :
Character adalah
kepribadian, moral, kejujuran calon debitor selalu harus diteliti seksama
terutama dalam menghadapi debitor yang baru. Hal-hal yang perlu diteliti adalah
sifat pribadi yang meliputi cara hidup, keadaan keluarga, riwayat dan nama baik
calon debitor di masyarakat.
Capacity adalah
kemampuan debitor dalam mengendalikan dan mengembangkan usahanya serta
kesanggupannya dalam menggunakan kredit yang bakal diterimanya. Hal ini terkait
dengan latar belakang pendidikan, pengalaman dan keadaan usahanya pada waktu
permohonan kredit diajukan.
Capital adalah
suatu modal yang dimiliki debitor pada waktu permohonan kredit diajukan.
Keadaan perusahaan yang dikelolanya harus dinilai dengan cermat sebelum
permohonan dikabulkan seluruhnya, sebagian atau ditolak sama sekali.
Colleteral adalah
agunan atau jaminan berupa benda yang diberikan oleh calon debitor. Dengan
jaminan ini maka bank akan lebih terjamin bahwa kredit yang diberikannya akan
dapat diterima kembali pada waktu yang ditentukan.
Condition adalah
keadaan ekonomi pada umumnya, keadaan ekonomi nasional dan keadaan ekonomi
calon debitor. Hal ini dimaksudkan agar dapat diketahui kedudukannya.
Sekalipun
prinsip 5 C sebagaimana terurai di atas telah diterapkan, bukan berarti bahwa
perjanjian kredit tersebut akan berlangsung sebagaimana diharapkan. Dalam
praktek tidak jarang para debitor yang telah memperoleh kredit dalam jumlah
besar bahkan menggunakan sindikasi-sindikasi bank, timbul itikad buruk untuk
menghindari pembayaran kewajibannya.
Tipologi
kredit bermasalah sebagaimana tergambar dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.
31/147/Kep/Dir tanggal 12 November 1998, tentang Kualitas Kredit, yang
menunjukkan unsur-unsur kredit bermasalah sebagai berikut (Mudrajad Kuncoro,
2002:468):
1. Kurang Lancar
- terdapat
tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 90 hari;
- terdapat ceruka/overdraft yang
berulang kali khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus
kas;
- hubungan
debitor dengan bank memburuk dan informasi keuangan debitor tidak dapat
dipercaya;
- dokumentasi
kredit kurang lengkap dan pengikatan agunan yang lemah;
- pelanggaran
terhadap persyaratan pokok kredit;
- perpanjangan
kredit untuk menyembunyikan kesulitan keuangan.
2. Diragukan
- terdapat
tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 hari
sampai dengan 270 hari;
- terjadi overdraft yang
bersifat permanen khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan
arus kas;
- hubungan
debitor dengan bank memburuk dan informasi keuangan debitor tidak dapat
dipercaya;
- dokumentasi
kredit kurang lengkap dan pengikatan agunan yang lemah;
- pelanggaran
yang prinsipil terhadap persyaratan pokok dalam perjanjian pokok;
3. Macet
- terdapat
tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari;
- dokumentasi
kredit kurang lengkap dan/atau pengikatan agunan tidak ada;
F.
Penyelamatan Kredit
Adapun
upaya-upaya yang dilakukan dalam penyelesaian kredit macet adalah :
a.
Upaya penyelamatan kredit
Yang
dimaksud dengan upaya bank untuk menyelamatkan kredit adalah upaya bank untuk
melancarkan kembali kredit yang sudah tergolong dalam kredit kurang
lancar ”diragukan” untuk kembali menjadi ”kredit lancar” sehingga debitor
kembali mempunyai kemampuan untuk membyar kembali, utangnya kepada bank
disertai dengan biaya dan bunga.
Menurut
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/4/BPP tanggal 29 Mei 1993 secara
operasional penanganan penyelamatan kredit bermasalah dapat ditempuh melalui
beberapa cara yaitu :
1. Penjadwalan
kembali (rescheduling) yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal
pembayaran dan atau jangka waktunya;
2. Persyaratan
kembali (reconditioning) yaitu perubahan sebagian atau seluruh
syarat-syarat kredit yang tidk terbatas pada perubahan jadwal pembayaran,
jangka waktu dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan
maksimum saldo kredit;
3. penataan
kembali (restructuring) yaitu perubahan syarat-syarat kredit berupa penambahan
dana bank dan/atau konvensi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok
kredit baru dan/.atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi
penyertaan dalam perusahaan yang disertai dengan penjadwalan kembali dan/atau
persyaratan kembali.
b. Penagihan
kredit
Dalam
menghadapi kredit bermasalah maka pihak bank akan melakukan upaya-upaya
penyelamatan kredit sebagaimana telah diuraikan di atas agar kredit bermasalah
tersebut kembali menjadi lancar.
Apabila
upaya penyelamatan kredit yang dilakukan oleh bank ternyata gagal, maka pada
akhirnya kredit yang bersangkutan menjadi kredit macet. Setelah kredit
dinyatatakan menjadi macet oleh bank, maka tindakan yang dapat dilakukan bank
adalah melakukan tindakan penyelesaian atau penagihan kredit tersebut.
Adapun yang
dimaksud dengan penyelesaian atau penagihan kredit macet adalah upaya bank
untuk memperoleh kembali pembayaran dari debitor atas kredit bank yang telah
menjadi macet.
Untuk
melakukan penyelesaian atau penagihan atas kredit yang sudah pada tahap
kualitas macet tersebut, maka dalam menangani kredit macet tersebut ditekankan
melalui beberapa upaya yang lebig bersifat kelembagaan hukum yaitu di antaranya
:
1. eksekusi
grosse akta pengakuan hutang dan barang jaminan;
2. eksekusi
grosse akta hipotik/sertifikat hak tanggungan;
3. bagi
bank pemerintah melalui penyerahan penagihan piutang negara kepada BUPLN;
4. melalui
badan peradilan;
5. melalui
arbitrase atau badan alternatif penyelesaian sengketa;
6. melalyu
lembaga paksa badan.