Kekuasaan H.W. Daendels di Jawa (1808-1811)
May 18, 2007, 1:05 am
Filed under: Orang-orang
Filed under: Orang-orang
Sumber Bacaan:
Nusa Jawa Silang Budaya I,II & III, Dennys Lombard
Raffles of The Eastern Isles, C.E. Wurtzburg
Nusantara, Vlekke
Nusa Jawa Silang Budaya I,II & III, Dennys Lombard
Raffles of The Eastern Isles, C.E. Wurtzburg
Nusantara, Vlekke
Sejarah Indonesia Modern , Ricklefs
Di awal Januari 1795,
Napoleon menaklukkan negeri Belanda tanpa perlawanan yang berarti. Raja
Willem V melarikan diri dan bersembunyi di Kew, sebuah kota kecil di
Inggris. Sebagai ganti Willem V, Napoleon mendudukkan adiknya, Louis
Bonaparte, di tahta kerajaan Belanda. Segera ia memerintahkan untuk
mengantisipasi serangan dari Inggris terhadap tanah jajahan. Ada tiga
target utama serangan Inggris yaitu; Tanjung Harapan, Jawa dan kepulauan
Maluku. Ketiga tempat tersebut berada didalam blokade angkatan laut
Inggris. Napoleon pun mengirim dua orang militer untuk tujuan itu.
Jendral Jan Willem Janssen di kirim ke Tanjung Harapan tahun 1803 dan
Marshall Herman Willem Daendels ke Jawa tahun 1808.
H.W. Daendels adalah seorang
jendral Belanda, pengagum Napoleon dan Jacobis. Ia memimpin perlawanan
yang gagal terhadap kerajaan Oranje pada 1787. Setelah kegagalannya, ia
lari ke Prancis. Ia kembali ke Belanda, 1795, bersama serangan Prancis.
Sejak itu, Belanda terlibat dalam perang Eropa di pihak Prancis. 1797,
Daendels memimpin 30.000 pasukan Belanda di Texel, menunggu invasi
Inggris yang sedang dalam pertempuran laut di Camperdown. 1799, ia
hampir menjadi tawanan perang di pertempuran Helder.
Di awal 1800-an, Inggris dan
Prancis mengkonsentrasikan kekuatan perangnya di wilayah India dan
Mesir. Secara tak terduga Tanjung Harapan sebagai pelabuhan strategis
dapat di kuasai Inggris tahun 1806, Jawa berada dalam posisi terancam.
Jawa membutuhkan seorang gubernur-jendral baru yang dapat memperkuat
pertahanan militer. Untuk alasan itu, Napoleon tidak mempercayai pejabat
Asiatic Council, Dirk van Hogendorp, seorang liberalis yang dicalonkan
sebagai gubernur jendral. Maka pilihan jatuh pada Daendels.
Daendels menempuh perjalanan
melalui Cadix, Tanger, Kepulauan Kanari dan New York. Dengan kapal
dagang berbendera Amerika, Daendels tiba di Batavia pada Januari 1808.
Amerika adalah negara netral yang tidak terlibat dalam perang Eropa.
Kedatangannya seorang diri menggunakan nama samaran van Vlierden (nama
istrinya) dengan kapal tersebut, dimaksudkan untuk mengelabui blokade
kapal perang Inggris. Kedatangannya di Batavia, ia langsung berhadapan
dengan keadaan keuangan dan administrasi yang buruk. Korupsi membuat
bangkrut VOC. Keuntungan dagang lebih banyak masuk ke kantong pejabat
VOC. Kekuatan pasukan Belanda di Jawa tidak lebih dari 2.000 orang
dengan kemampuan dan disiplin yang rendah.
Pada saat yang hampir
bersamaan dengan dikuasainya Belanda oleh Prancis, VOC dibubarkan.
Herren XVII (dewan beranggotakan 17 orang pengusaha besar Belanda)
ditiadakan. Sebagai gantinya, seluruh jajahan Belanda langsung berada
dibawah penguasaan kerajaan Belanda dan diurus oleh kementerian jajahan (Pemerintah kolonial Belanda di Nusantara menguasai Jawa, Palembang, Makassar dan Maluku, sisanya dikuasai oleh Inggris). Pengaruh langsung dari pergantian itu adalah soal otonomi pengaturan keuangan dan pembentukkan angkatan perang
Segera setelah menginjakkan
kakinya di Weltevreden, Daendels mengganti bendera Belanda di depan
kantor gubernuran dengan bendera Prancis. Tak ada seorang pegawai pun
yang berani bereaksi atas tindakannya itu. Begitu pula ketika ia
mengeluarkan aturan bahwa pegawai pemerintah kolonial dilarang untuk
memberi dan menerima hadiah dari pejabat pribumi. Setiap kesalahan akan
ditindak dengan keras dan tak luput dari dampratan dengan suaranya yang
sangat keras. Hobi membentak dan suaranya yang menggelegar membuatnya
mendapat panggilan mas guntur dan mas galak. Berdiri di atas ketaatan
para pegawainya, ia membangun pasukan dalam jumlah dan organisasi yang
cukup mengesankan. Pasukannya terdiri dari orang-orang Belanda dan
pribumi. Ia menghentikan penggunaan orang-orang Jawa dalam pasukan inti
nya dan menggantinya dengan orang-orang dari Madura, Makasar, Bali,
Ambon dan budak-budak dari wilayah jajahan lainnya. Sistem kepangkatan
dalam organisasi militer eropa diterapkan pula dalam pasukan pribumi.
Mereka mendapat latihan, pangkat, ransum, seragam, senjata dan juga
upah. Dalam dua tahun, ia berhasil membentuk 20.000 orang pasukan yang
terdiri dari lima divisi; divisi mobile, tiga divisi kota (Batavia,
Semarang, dan Surabaya) dan divisi pertahanan di luar Jawa. Ia mengatur
korps tentaranya dengan gaya Prancis dan mengubah banyak industri
komersial menjadi industri militer, seperti pabrik-pabrik di Gresik
menjadi senjata dan di Semarang diubah menjadi penghasil mesiu.
Sebagai bagian dari proyek
militernya, Daendels juga membangun instalasi militer seperti pelabuhan
militer di Surabaya dan benteng di Mester Cornelis serta sebuah jalan
utama dari Anyer hingga Panarukan. Sebelumnya, hanya ada jalan setapak
yang diketahui oleh penduduk setempat dan itupun selalu disertai dengan
penebasan hutan. Jalur perdagangan lebih mengutamakan penggunaan jalur
laut sepanjang pantai utara.
Kesulitan jalur darat itu
memang telah menjadi perhatian pihak kolonial seperti yang dituturkan
oleh Francois Tombe. Tombe adalah seorang perwira Prancis yang dikirim
oleh Daendels dua tahun sebelum kedatangannya. Tugasnya adalah membuat
peta selat Bali. Sayangnya, ia terdampar di Banyuwangi dan kemudian
memutuskan melakukan perjalanan ke Surabaya. Perjalanan itu memakan
waktu enam bulan.
Dari sekian banyak proyek
Daendels dalam kurun waktu tiga tahun kepemimpinannya, pembuatan jalan
utama Anyer-Panarukan adalah yang paling besar pengaruhnya. Bahkan
diluar yang dibayangkan olehnya sebagai fasilitas yang mempercepat
mobilitas pasukan (Dengan kekuatan lautnya, Inggris mempunyai
kemungkinan untuk mendarat dimanapun sepanjang pantai utara Jawa. Oleh
karena itu, mustahil bagi Daendels untuk terus mengawasinya. Baginya,
adalah paling penting membangun pasukan infanteri dengan mobilitas yang
tinggi untuk mengantisipasi penyusupan lebih jauh dari pasukan Inggris).
Belum diperoleh waktu yang tepat kapan pembuatan jalan tersebut
dimulai. Hanya saja, bersamaan dengan pembuatan jalan, ia juga
mendirikan jasa pos dan telegraf yang kemudian menjadi nama jalan
Anyer-Panarukan, groote postweg (jalan raya pos). Tercatat pada
1810 Daendels telah membeli 200 ekor kuda — alat pengangkut pos — yang
menandakan jalan Anyer-Panarukan telah selesai. Pada tahun ini juga ia
menghidupkan kembali surat kabar yang sebelumnya pernah terbit dan mati,
Bataviasche Koloniale Courant. Surat kabar ini terus terbit hingga berakhirnya kekuasaan kolonial di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar