Rabu, 09 Januari 2013

Kekuasaan H.W. Daendels di Jawa


Kekuasaan H.W. Daendels di Jawa (1808-1811)
May 18, 2007, 1:05 am
Filed under: Orang-orang
Sumber Bacaan:
Nusa Jawa Silang Budaya I,II & III, Dennys Lombard
Raffles of The Eastern Isles, C.E. Wurtzburg
Nusantara, Vlekke

Sejarah Indonesia Modern
, Ricklefs
Di awal Januari 1795, Napoleon menaklukkan negeri Belanda tanpa perlawanan yang berarti. Raja Willem V melarikan diri dan bersembunyi di Kew, sebuah kota kecil di Inggris. Sebagai ganti Willem V, Napoleon mendudukkan adiknya, Louis Bonaparte, di tahta kerajaan Belanda. Segera ia memerintahkan untuk mengantisipasi serangan dari Inggris terhadap tanah jajahan. Ada tiga target utama serangan Inggris yaitu; Tanjung Harapan, Jawa dan kepulauan Maluku. Ketiga tempat tersebut berada didalam blokade angkatan laut Inggris. Napoleon pun mengirim dua orang militer untuk tujuan itu. Jendral Jan Willem Janssen di kirim ke Tanjung Harapan tahun 1803 dan Marshall Herman Willem Daendels ke Jawa tahun 1808.

H.W. Daendels adalah seorang jendral Belanda, pengagum Napoleon dan Jacobis. Ia memimpin perlawanan yang gagal terhadap kerajaan Oranje pada 1787. Setelah kegagalannya, ia lari ke Prancis. Ia kembali ke Belanda, 1795, bersama serangan Prancis. Sejak itu, Belanda terlibat dalam perang Eropa di pihak Prancis. 1797, Daendels memimpin 30.000 pasukan Belanda di Texel, menunggu invasi Inggris yang sedang dalam pertempuran laut di Camperdown. 1799, ia hampir menjadi tawanan perang di pertempuran Helder.

Di awal 1800-an, Inggris dan Prancis mengkonsentrasikan kekuatan perangnya di wilayah India dan Mesir. Secara tak terduga Tanjung Harapan sebagai pelabuhan strategis dapat di kuasai Inggris tahun 1806, Jawa berada dalam posisi terancam. Jawa membutuhkan seorang gubernur-jendral baru yang dapat memperkuat pertahanan militer. Untuk alasan itu, Napoleon tidak mempercayai pejabat Asiatic Council, Dirk van Hogendorp, seorang liberalis yang dicalonkan sebagai gubernur jendral. Maka pilihan jatuh pada Daendels.

Daendels menempuh perjalanan melalui Cadix, Tanger, Kepulauan Kanari dan New York. Dengan kapal dagang berbendera Amerika, Daendels tiba di Batavia pada Januari 1808. Amerika adalah negara netral yang tidak terlibat dalam perang Eropa. Kedatangannya seorang diri menggunakan nama samaran van Vlierden (nama istrinya) dengan kapal tersebut, dimaksudkan untuk mengelabui blokade kapal perang Inggris. Kedatangannya di Batavia, ia langsung berhadapan dengan keadaan keuangan dan administrasi yang buruk. Korupsi membuat bangkrut VOC. Keuntungan dagang lebih banyak masuk ke kantong pejabat VOC. Kekuatan pasukan Belanda di Jawa tidak lebih dari 2.000 orang dengan kemampuan dan disiplin yang rendah.

Pada saat yang hampir bersamaan dengan dikuasainya Belanda oleh Prancis, VOC dibubarkan. Herren XVII (dewan beranggotakan 17 orang pengusaha besar Belanda) ditiadakan. Sebagai gantinya, seluruh jajahan Belanda langsung berada dibawah penguasaan kerajaan Belanda dan diurus oleh kementerian jajahan (Pemerintah kolonial Belanda di Nusantara menguasai Jawa, Palembang, Makassar dan Maluku, sisanya dikuasai oleh Inggris). Pengaruh langsung dari pergantian itu adalah soal otonomi pengaturan keuangan dan pembentukkan angkatan perang

Segera setelah menginjakkan kakinya di Weltevreden, Daendels mengganti bendera Belanda di depan kantor gubernuran dengan bendera Prancis. Tak ada seorang pegawai pun yang berani bereaksi atas tindakannya itu. Begitu pula ketika ia mengeluarkan aturan bahwa pegawai pemerintah kolonial dilarang untuk memberi dan menerima hadiah dari pejabat pribumi. Setiap kesalahan akan ditindak dengan keras dan tak luput dari dampratan dengan suaranya yang sangat keras. Hobi membentak dan suaranya yang menggelegar membuatnya mendapat panggilan mas guntur dan mas galak. Berdiri di atas ketaatan para pegawainya, ia membangun pasukan dalam jumlah dan organisasi yang cukup mengesankan. Pasukannya terdiri dari orang-orang Belanda dan pribumi. Ia menghentikan penggunaan orang-orang Jawa dalam pasukan inti nya dan menggantinya dengan orang-orang dari Madura, Makasar, Bali, Ambon dan budak-budak dari wilayah jajahan lainnya. Sistem kepangkatan dalam organisasi militer eropa diterapkan pula dalam pasukan pribumi. Mereka mendapat latihan, pangkat, ransum, seragam, senjata dan juga upah. Dalam dua tahun, ia berhasil membentuk 20.000 orang pasukan yang terdiri dari lima divisi; divisi mobile, tiga divisi kota (Batavia, Semarang, dan Surabaya) dan divisi pertahanan di luar Jawa. Ia mengatur korps tentaranya dengan gaya Prancis dan mengubah banyak industri komersial menjadi industri militer, seperti pabrik-pabrik di Gresik menjadi senjata dan di Semarang diubah menjadi penghasil mesiu.

Sebagai bagian dari proyek militernya, Daendels juga membangun instalasi militer seperti pelabuhan militer di Surabaya dan benteng di Mester Cornelis serta sebuah jalan utama dari Anyer hingga Panarukan. Sebelumnya, hanya ada jalan setapak yang diketahui oleh penduduk setempat dan itupun selalu disertai dengan penebasan hutan. Jalur perdagangan lebih mengutamakan penggunaan jalur laut sepanjang pantai utara.

Kesulitan jalur darat itu memang telah menjadi perhatian pihak kolonial seperti yang dituturkan oleh Francois Tombe. Tombe adalah seorang perwira Prancis yang dikirim oleh Daendels dua tahun sebelum kedatangannya. Tugasnya adalah membuat peta selat Bali. Sayangnya, ia terdampar di Banyuwangi dan kemudian memutuskan melakukan perjalanan ke Surabaya. Perjalanan itu memakan waktu enam bulan.

Dari sekian banyak proyek Daendels dalam kurun waktu tiga tahun kepemimpinannya, pembuatan jalan utama Anyer-Panarukan adalah yang paling besar pengaruhnya. Bahkan diluar yang dibayangkan olehnya sebagai fasilitas yang mempercepat mobilitas pasukan (Dengan kekuatan lautnya, Inggris mempunyai kemungkinan untuk mendarat dimanapun sepanjang pantai utara Jawa. Oleh karena itu, mustahil bagi Daendels untuk terus mengawasinya. Baginya, adalah paling penting membangun pasukan infanteri dengan mobilitas yang tinggi untuk mengantisipasi penyusupan lebih jauh dari pasukan Inggris). Belum diperoleh waktu yang tepat kapan pembuatan jalan tersebut dimulai. Hanya saja, bersamaan dengan pembuatan jalan, ia juga mendirikan jasa pos dan telegraf yang kemudian menjadi nama jalan Anyer-Panarukan, groote postweg (jalan raya pos). Tercatat pada 1810 Daendels telah membeli 200 ekor kuda — alat pengangkut pos — yang menandakan jalan Anyer-Panarukan telah selesai. Pada tahun ini juga ia menghidupkan kembali surat kabar yang sebelumnya pernah terbit dan mati, Bataviasche Koloniale Courant. Surat kabar ini terus terbit hingga berakhirnya kekuasaan kolonial di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar